Selamat Datang di Murabahah Center Pusat Bisnis yang Amanah dan Beretika.Kami Siap Melayani Kebutuhan Anda

Jumat, 03 Januari 2014

Murabahah Salah Kaprah


Ketika Bank Muamalat dalam persiapan operasi,sejumlah calon tenaga pelaksana dikirim ke Malaysia, tepatnya ke Bank Islam Malaysia Berhard (BIMB), untuk menimba ilmu. Maklum, negeri Jiran ini memang telah lebih dulu mempunyai bank syariah. Bahkan, dalam satu tahun pertama operasinya,Bank Muamalat dibantu oleh tenaga ahli dari BIMB.

Di BIMB, skim murabahah dibedakan menjadi dua, yaitu murabahah financing dan bai’bitsaman ajil financing. Bank Muamalat pun mengambil istilah ini untuk nama produk pembiayaannya. Nama produk yang mengambil istilah fiqih ini ternyata di kemudian hari menimbulkan kerancuan, terutama bagi mereka yang baru belajar perbankan syariah. 

Sebagai nama produk, tentunya sah-sah saja bila kemudian produk pembiayaan murabahah didefinisikan sebagai kredit modal kerja yang dapat terus bergulir. Bila seseorang mengambil produk ini, ia hanya membayar cicilan keuntungannya setiap bulan dan baru membayar harga beli bank pada saat pelunasan, sedangkan produk pembiayaan bai’ bitsaman ajil- untuk membedakan kegunaannya- didefinisikan sebagai kredit investasi yang cicilan keuntungan dan cicilan harga beli banknya harus dibayar setiap bulan.


Sebagai bank umum pertama yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, istilah-istilah  produk Bank Muamalat dengan mudah ditiru oleh BPRS dan BMT sehingga yang lebih dikenal masyarakat adalah definisi produknya, bukan definisi fiqihnya. Karenanya, ketika Bank Muamalat bergabung menjadi anggota Accounting & Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang berkedudukan di Bahrain dan ketika mengikuti seminar tentang bank syariah di luar negeri- selain Malaysia- kita mengetahui bahwa definisi yang selama ini digunakan hanyalah definisi produk pembiayaan di BIMB. Adapun istilah standarAAOIFI untuk kedua produk itu adalah murabahah.

Bai’ bitsaman ajil dalam definisi fiqihnya adalah penjualan dengan tangguh tempo. Adapun pembayarannya dapat saja sekaligus pada waktu yang disepakati, dapat juga dicicil beberapa kali sesuai kesepakatan. Dalam penerapannya di perbankan,contohnya, bank menjual mobil Rp35 juta kepada nasabah yang pembayarannya dicicil selama 12 bulan. Bank membeli mobil itu Rp30 juta secara tunai. Artinya, bank mengambil margin keuntungan Rp5 juta dalam setahun atau 16,7% per tahun. Ketika bank menjual secara cicilan, secara fiqih ini disebut  bai’ bitsaman ajil. Ketika bank memberi tahu margin keuntungannya 16,7%,secara fiqih ini dinamakan murabahah. Jadi, sebenarnya produk pembiayaan bai’bitsaman ajil secara fiqih adalah bai’ bitsaman ajil yang murabahah.

Adapun murabahah, secara fiqih pembayarannya dapat dilakukan lewat naqdan (tunai) atau bitsaman ajil (tangguh tempo). Dalam penerapannya di perbankan, murabahah yang naqdan tidak ada. Yang ada dalam murabahah yang pembayarannya dicicil. Jadi, sebenarnya produk pembiayaan murabahah secara fiqih adalah murabahah yang bai’ bitsaman ajil. Walhasil, secara fiqih, kedua produk ini sama aja.

Dalam praktiknya, tentu saja bank bukan ruang pamer mobil atau toko serba ada yang mempunyai stok barang yang akan dijualnya secara cicilan. Ilustrasi mudahnya, seorang calon nasabah yang membutuhkan kredit untuk membeli barang datang ke bank dan minta di biaya untuk pembeliaan barang tersebut. Biasanya, calon nasabah telah mengetahui harga barangnya secara tunai. Bank akan menentukan margin keuntungan yang diambilnya dan kemudian dengan menganalisis kemampuan nasabah membayar kembali,bank menentukan jangka waktu cicilannya. Bila setuju, terjadilah akad kredit.

Secara fiqih, transaksi itu terdiri atas beberapa bagian. Pertama, transaksi wakalah, yaitu ketika bank menunjuk calon nasabah sebagai wakilnya untuk membeli barang yang diinginkannya. Kedua, transaksi murabahah pertama, yaitu ketika nasabah sebagai wakil bank membeli barang itu secara tunai original seller . ketiga, transaksi murabahah kedua, yaitu ketika bank sebagai pemilik barang menjual secara cicilan kepada nasabah. Dalam standar akuntansi keuangan syariah, kedua transaksi ini disebut murabahah dengan pesanan. Keempat, karena secara fiqih kepemilikan barang telah berpindahke tangan nasabah, padahal ia belum membayar sepeser pun kepada bank, timbullah dayn ( utang yang timbul bukan akibat pinjam-meminjam uang). Walaupun tidak wajib, biasanya diikuti dengan transaksi kelima, yaitu menahan barang jaminan (rahn). Dapat saja yang dijaminkan itu barang yang dibiayai bank tadi, toh kepemilikannya telah berada ditangan nasabah atau barang lain. Walaupun mengenai jaminan ini diatur dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah:283,jarang orang yang paham.

Dalam praktiknya, tenaga pelaksana di lapangan biasanya enggan menerangkan seluk-beluk dan landasan fiqih murabahah atau bisa jadi menganggap calon nasabah telah paham. Karena itu, murabahah disimplikasi dalam satu rangkaian kalimat pendek, “Margin kami 20% per tahun.” 


Tentu saja banyak masyarakat yang mengira bank syariah sekadar mengganti istilah bunga dengan margin. Belum lagi keteledoran pemenuhan rukun dan syarat fiqihnya, antara lain harus ada barang yang diperjualbelikan. Bukannya bank syariah tidak dapat memenuhi kebutuhan selain untuk membeli barang, tetapi skimnya bukan murabahah. Bisa dengan skim ijarah, mudharabah,musyarakah, atau lainnya.

Sumber : Buku Ekonomi Islam / Adiwarman Karim